Saya memutuskan untuk mengikuti #KampusFiksi 10 Days Writing Challenge yang berlangsung 18-27 Januari 2017, dan tema untuk hari kesembilan adalah ....
[Tulislah sebuah surat untuk
seseorang.]
Untuk kamu yang berada di sana,
Saya di sini ingin mengungkapkan
banyak hal, meskipun ini tidak terbaca olehmu nantinya. Terdapat keluh kesah
dan pertanyaan, dan sampai di akhir surat ini, saya tidak tahu mana yang lebih
mendominasi.
Kita sudah kenal selama kurang lebih
enam tahun. Ah, tahun. Saya teringat bahwa dulu kamu pernah mengatakan, apabila
persahabatan berlangsung lebih dari tujuh tahun, maka itu akan berlangsung
selamanya. Saya mempercayai itu, sampai pada tahun 2016 lalu, kamu mengubah
semuanya. Atau saya mengubah semuanya; saya tidak tahu yang mana, semuanya
terasa seimbang.
Saya tahu, kamu berada di tempat yang
berbeda dengan saya, dengan kadar kesibukan yang berbeda pula. Begitu banyak
alasan yang kamu berikan untuk saya, dan saya menerimanya begitu saja. Saya
pikir, kamu adalah sahabat saya, sehingga saya tidak perlu mengatakan apa pun
untuk meragukanmu.
Namun semakin lama, itu semakin
terasa palsu. Semakin terasa bahwa kamu ingin menghindari saya saja. Lewat aplikasi
A, kamu bilang ponselmu akan menjadi lamban dan kamu menyarankan saya untuk
mengunduh aplikasi B, sehingga saya mengunduh aplikasi chat B. Dengan aplikasi
chat B, saya senang, setidaknya kita bisa saling berhubungan lagi … begitu, ‘kan?
Namun apa yang kamu katakan? Kamu berkata bahwa di aplikasi itu, semua chat
yang saya kirim terpendam. Dan juga, kamu tidak punya waktu.
Baiklah, baiklah. Namun ada di suatu
titik di mana saya menyatakan bahwa saya ingin (…) dan kamu mengabaikan saya begitu saja.
Seolah saya tidak berharga. Seolah
hidup saya tidak berharga di matamu.
Dengan itu saya memutuskan: untuk apa
mempertahankan tahun-tahun yang berikutnya, kalau bahkan dengan berkomunikasi
saja sulit? Bahkan kamu tidak merespons apa yang saya harapkan untuk direspons;
titik kelemahan saya, ketika saya saat itu sedang saat jatuh dan benar-benar down untuk bisa dihibur.
Kamu memang meminta maaf. Kamu
berkata kamu menangis.
Saya percaya.
Tapi saya egois. Saya masih memendam
kekesalan. Kemarahan yang saat itu belum diungkapkan dengan puas.
Dan saya bertanya-tanya, apakah kamu
pernah memikirkan perasaan saya waktu itu? Ketika saya berada di titik
terendah, ingin melakukan sesuatu yang seharusnya tidak diperlukan? Apa yang
kamu lakukan, mengatakan chatmu
tertimbun chat yang lain? Mengabaikan
hidup saya? Apa saya tidak begitu berartinya? Apakah selama ini persahabatan
ini hanya dijalankan dalam satu arah?
Apakah kamu pernah menyesal?
Atau tidak, karena setelah itu, saya
(berusaha) memutuskan kontak denganmu? Kamu lega bahwa saya tidak mengganggumu
lagi?
Apakah kamu merasa senang? Apakah
selama ini kamu peduli?
Apakah kamu tahu bagaimana keadaan
saya saat ini?
Dari,
saya yang berada di sini.
Saya berharap kamu membacanya. Atau tidak.