Rabu, 18 Februari 2015

Lebih dari Cukup

Lebih dari Cukup

(1000 Tahun Lamanya)

.


"Maaf sudah menunggu lama," kata Fina ketika dia menarik kursi dan duduk di hadapan Rio. Rio tersenyum dengan totalitas yang sempurna. 

"Tidak apa-apa," ujar Rio, menekan keinginan untuk meledak karena dia sudah menunggu sekitar tiga jam, "Tidak apa-apa. Baru sebentar."

Lalu mereka berdua makan siang seperti yang sudah direncanakan sebelumnya.

.

"Maaf sudah menunggu lama," ujar Fina ketika dia keluar dari kantornya dengan wajah yang muram. Di sana Rio berdiri, gemetaran karena angin dan hujan dan cuaca yang tidak mendukung menampar tubuhnya hingga hampir roboh. Fina menatap Rio, lalu mengembangkan payung yang ada di tangan kanannya. 

"Aku lupa kalau kemarin kamu bilang ingin menjemputku," tukas Fina dan mereka mulai berjalan ke tempat parkir.

"Tidak apa-apa," sahut Rio dengan suara sedikit gemetar. Tubuhnya basah semua dan dia yakin besok dia akan bangun dengan lemas. "Hanya sebentar aku menunggumu."

Fina tersenyum lebar.
.

"Maaf sudah menunggu lama."

Kali itu diucapkan dengan seorang pria yang menggandeng lengan Fina; begitu lengket sehingga Rio kira mereka tak akan berpisah ketika hujan datang. Rio mendengus benci. Entah benci pada dirinya sendiri atau laki-laki antah-berantah tersebut. Tapi kebencian itu bukan untuk Fina.

"Oh iya. Rio, ini Rama. Rama, ini Rio. Rama mau menemaniku di reunian nanti, tapi Rio bersikeras untuk menjemputku," jelas Fina pada dua orang pria yang sedang menatapnya dalam. Fina melanjutkan, "Sori, Rio. Aku bawa Rama nggak apa-apa, 'kan?"

"Nggak masalah," jawab Rio dengan kasual dan dengan entengnya masuk ke mobil yang diparkir dari satu setengah jam yang lalu. "Ayo, masuk."

.

"Maaf sudah menunggu lama," kata Fina dengan mata sembap dan bengkak, hidung merah, bibir pucat. Rio menatapnya prihatin; kesal dan gemas, dia ingin menghibur Fina. Fina tersenyum lemah.

"Putus sama Rama, Fin?"

Fina mengangguk. Rio menepuk pundaknya.

"Maaf ya."

"Tidak apa-apa," jawab Rio untuk ke sekian kalinya. "Nggak lama, kok."

Jam tangan digital milik Rio menunjukkan angka 04:00 ketika dia tiba di depan rumah Fina untuk mengajaknya ke toko buku, dan sekarang sudah berada di angka 05.45.

Rio tahu Fina membutuhkan waktu karena dia menangisi Rama sepanjang hari.

Tapi, Rio tetap rela menunggu.

.

"Maaf sudah menunggu lama," Fina berujar dengan ceria dengan gaun cerah yang membungkus tubuhnya. Rio tersenyum senang. Mereka berdua akan pergi ke pernikahan teman semasa sekolah mereka hari ini.

"Baru tiga puluh menit," gurau Rio, dan mereka bergandengan menuju mobil Rio.

.

"Maaf sudah menunggu lama."

Mereka berdua duduk santai di teras rumah Fina yang hanya ada Fina sebagai penghuni rumah. Di antara barisan gigi ompong dan helaian rambut putih, wajah Fina yang penuh kerutan tersenyum samar. Rio hanya tersenyum lebar.

Rio tidak perlu menunggu lagi. 

Fina mengulurkan kedua tangannya ke arah Rio, mengenggam tangan tersebut, dan berbisik nyaris tak terdengar, "Terima kasih sudah menungguku selama bertahun-tahun. Maaf sudah menunggu lama. Aku akan menjadi pendampingmu, Rio, walaupun kamu tidak pernah mengatakan apa pun padaku. Kamu bersedia menungguku untuk sekian lama," Fina menghela napas, "Dan itu lebih dari cukup."

.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com #TiketBaliGratis.


Pintu yang Tertutup

Pintu yang Tertutup

(I'm Not The Only One)

.

Pernah sekali atau dua kali, aku dengan tololnya memandang punggungmu yang berbalik dan menjauh pergi, melangkah menuju pintu, lalu membantingnya dengan superior.

Tapi yang lebih tololnya lagi adalah, ketika aku tahu kalau aku tidak bisa bergerak pergi dari sana dan terus menunggumu dari bayangan yang tersisa.

.

"Kita telah membuat komitmen," katamu dengan nada angkuh yang tak sekali pun aku membantahnya, karena aku tahu bahwa aku tak bisa. Rambut panjangmu sedikit tersibak dan aku takut kalau aku telah salah fokus. Kamu menatapku dalam, dalam sekali. Aku melihat langsung ke matamu dan melihat sinar yang berkilat di sana. Kamu melanjutkan dengan mantap, "Namun ada satu hal yang ingin kuberi tahukan padamu."

Aku bergeming menunggu kelanjutan darimu.

"Jangan pernah menguntitku. Tak ada orang yang menjalin hubungan dan menguntit kekasihnya."

Dalam poin itu, aku setuju. Kamu adalah wanita independen, 'kan?

.

Kamu dan aku telah bersama untuk beberapa lama yang tak ingin kuhitung; mungkin lebih lama dari bayanganku, atau lebih singkat dari imajinasiku. Kita telah menekan ego masing-masing ke lubuk hati terdalam supaya hubungan ini tidak hancur, lebur, menjadi serpihan-serpihan tak bermakna di langit terujung sana.

Aku berpikir, mungkin karena kita saling mengerti.

Namun aku salah total.

.

Kamu adalah wanita cantik yang tidak mau kuperingatkan bahwa banyak laki-laki yang mengincarmu. Mungkin kamu sudah tahu, tapi aku juga tidak mau memperingatkan. Cukup waspada saja supaya milikku tak diambil orang lain.

Namun, suatu hari, aku melihatnya dalam titik antara taman, simfoni, air yang beriak, dan kamu yang sedang tersenyum hangat, direngkuh oleh pemuda yang tak kukenal.

Kamu terlihat bahagia tanpa perlu kuperingatkan.

.

Lain waktu, aku memergokimu bersama pria yang lain lagi dari dua bulan yang lalu (ya, ya, aku masih ingat, Sayang, ketika hari itu kamu berkata kamu ingin pergi bekerja tetapi kamu malah bermesraan dengan pria lain). Aku tidak memanggilmu. Aku melangkah pergi. 

Di waktu-waktu tertentu ketika aku ingin mempercayaimu, ingin tahu seberapa besar ketulusanmu dan bagaimana kamu memperlakukanmu, kamu hanya menjawab dengan santai, "Aku habis bekerja." 

Atau, "Habis hang-out sama teman."

Aku mengangguk. Mungkin kamu kira aku lebih tolol dari udang yang tak punya otak.

.

Kita tak pernah bertengkar karena aku mengalah dan kamu langsung pergi.

Menemui priamu yang lain.

.

Satu tahun. Dua tahun. Mungkin lima tahun.

Hubungan satu arah itu terus berjalan.

Dan aku masih menunggu di balik pintu yang terbalik, di antara sinar matahari yang menyusup di celah jendela dan tirai, dengan kaki yang tak gentar. 

Menunggumu untuk membuka pintu yang sudah tertutup sejak punggungmu sudah berbalik melawanku.

.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com #TiketBaliGratis.

Rabu, 11 Februari 2015

Lepau di Masa Lampau

Lepau di Masa Lampau


(Thinking Out Loud)


.

Pernah berpikir kalau jatuh cinta itu bisa dalam berbagai cara? Bertemu di warung, misalnya?

Rian bertemu Karina saat Rian ingin membeli lima bungkus kopi dan saat Karina ingin membeli dua bungkus mie instan. Mereka bertemu dan jatuh cinta di cara yang aneh, unik, dan menyenangkan.

.

Mereka berdua bertemu lagi kedua kalinya, kali ini dengan cara yang sama namun berbeda; Karina membeli kopi dan Rian ingin menikmati mie instan.

(Mungkin, itu disengaja.)

.

Tidak perlu yang indah untuk sesuatu yang sudah menakjubkan. Mereka berdua sering bertatapan penuh arti dan berbagi kopi serta mie instan di malam hari, dengan bintang-bintang menemani serta suara binatang malam yang bergema di langit.

Itu mereka lakukan secara konstan sampai usia ... eh, mereka sudah berapa tahun melakukan itu bersama?

.

"Rian, waktu itu kamu sengaja beli mie instan, kan, ya ...? Aku ingat percakapan kita entah berapa tahun yang lalu, kalau kamu tidak suka makan mie instan yang berkuah. Aku ingat sekali kalau kamu beli yang mie kuah rasa soto waktu itu."

Rian terkekeh dengan gigi yang sudah rontok banyak, "Sok tahu, kamu."

"Lucu, ya, bagaimana kita bertemu di saat orang-orang mendambakan sesuatu yang romantis: tabrakan di koridor, misalnya. Kita berbeda."

"Tentu, dong."

Dentingan sendok di cangkir kopi membuyarkan Karina dari lamunannya sendiri tentang warung ini tiga puluh tahun lalu. Mereka berdua kini berada di warung yang sama, menikmati waktu di malam hari. Iya, di warung. Warung yang mereka miliki setelah pemiliknya sudah tidak ada bertahun-tahun yang lalu.

Suara orang menyantap mie instan dengan nikmat terdengar di sebelahnya. Suara jangkrik bersahut-sahutan di kejauhan sana. Bintang tak bersuara, namun menikmati kenyamanan mereka berdua.

"Mau kopinya, Karina?"

"Aku lebih suka mie instan, terima kasih," ujar Karina sambil meraba rambut putihnya. Dengan sedikit membungkuk, dia mengintip mie instan berkuah milik Rian. "Jangan makan banyak-banyak mie instan, tahu," lalu dia menambahkan, "Kalau kopi, itu boleh."

"Ini mengingatkanku akan kita."

Karina, tanpa sadar, mendengus kencang. "Aku tahu itu romantis sekali."

Di antara selipan tangan-tangan keriput, Rian meremas genggamannya pada Karina. "Hei, aku merasa waktu membeku ketika kita bersama, karena aku selalu jatuh cinta padamu setiap harinya."

.

Karina menyeruput mie instan milik Rian ketika kepala Rian terkulai di kedua pahanya.

(Mungkin kalau sekali-sekali, tidak apa untuk makan banyak-banyak mie instan.)

.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com

Dunia yang Asing

Dunia yang Asing

(What They Called Soulmate)

.

Di antara sejuta ilalang, aku menemukan belahan jiwaku; atau yang biasa mereka katakan, soulmate.

Apa yang bisa kukatakan untuknya? Dia adalah satu-satunya yang mengerti diriku di saat yang lain mencemoohku. Dia adalah satu-satunya yang memahami aku ketika aku melakukan sesuatu yang tak dimengerti oleh orang lain.

Hei, lagi pula ... kenapa dia harus berbeda? Kami saling mengerti satu sama lain, kok.

Kami saling percaya, saling memahami dan mencintai, lalu untuk apa memedulikan kata orang lain?

"Kamu mengerti, 'kan?" kataku letih dan memberikan senyum yang terkulum. Aku melihat ke arah matanya yang sudah tertutup rapat dan aku memeluknya. "Aku masih terus mencintaimu, tahu."

Dia tidak balas memelukku, tapi aku juga tahu perasaannya.

Tentu saja dia sudah tidak bisa memelukku. Dia sudah pergi ke sana, jiwanya melayang di udara, meninggalkan aku di dunia.

Belahan jiwaku yang bisa diajak berlanglang buana di fantasi paling fana; laki-laki yang katanya terus memberiku perhatian di celah waktu sibuknya. Waktu sibuknya di antara memilah-milah kertas dan mengetik di komputer. Waktu sibuknya di antara keluarga dan aku.

Ini adalah untuk dia yang sudah memberikan seluruh hidupnya untukku sampai dia mati. Kamu adalah belahan jiwaku walaupun kamu sudah pergi.

Selamat tinggal, Sayang.

.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com