Rabu, 11 Maret 2015

Macam Itu

Macam Itu
(Ain't Worth The Whiskey)


.

Aku tidak mengerti kenapa orang-orang selalu datang ke tempatku--yah, tidak selalu, tapi sekitar 89%--dengan wajah muram seperti habis ditinggalkan belahan jiwa.

Memang benar, sih. Mereka akan memesan minuman keras dan aku, sebagai bartender yang baik, akan menuruti perintah mereka, asal ada uangnya. Lalu, menambah kebaikanku juga, aku akan dengan sabar mendengarkan curhatan-curhatan mereka tentang apa yang membuat mereka depresi hari ini.

"Aku habis dipecat."

"Istriku selingkuh."

"Gila, anak perempuanku hamil. Bahkan belum lulus SMA."

"Aku butuh sesuatu untuk menjadi pengalih."

Dan sebagainya dan sebagainya dan sebagainya. Kadang aku bosan, tapi berusaha untuk tidak menunjukkan itu di depan mereka. Yah, aku kan bartender yang baik.

Omong-omong, pria yang berada di hadapanku saat ini wajahnya mirip zombie. Lihat saja kerutan-kerutan serta kantung hitam itu, rasanya pengen kupakaikan bedak saja. Eh, tidak ampuh, ya.

"Whiskey," katanya serak sambil menatapku dengan aneh, layaknya seekor kecoa. Aku mendengus dan segera pergi meninggalkannya untuk memberi whiskey itu.

Saat aku kembali, dia sudah mencerocos, seperti biasa--seperti pelangganku yang lainnya. "Masa dia meninggalkanku demi pria brengsek seperti dia."

Ah, kisah percintaan.

Aku memasang wajah yang penuh perhatian. "Pria brengsek macam apa?"

"Macam itu!" geramnya sambil mengepalkan tangan. "Aku sudah belikan mobil, rumah, dia malah pilih yang macam itu. Hanya gara-gara wajahnya lebih tampan dariku--"

Aku nyengir. Kelihatan, sih, kalau dia cinta mati sama mantannya itu. Wajahnya sangat frustrasi, lebih-lebih ditambah dengan ekspresinya yang masam dan merengut itu.

Dia tidak memperhatikanku lagi dan meneguk whiskeynya cepat.

"Jangan dipertahankan yang matrealistis seperti itu, bro," ujarku sok akrab seperti biasa. "Because, she ain't worth the whiskey."

Dia ikutan nyengir.

.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Aku yang Tidak Tahu Apa-Apa

Aku yang Tidak Tahu Apa-Apa

(Ibu)

.

Ketika masih bocah, aku pernah bertanya pada Ibu. "Ibu, Ibu tidak pernah meninggalkan aku, 'kan? Aku selalu bosan kalau di rumah ..." Aku bertanya hal itu karena aku anak tunggal dan tidak punya saudara kandung, "Jadi Ibu terus ada di sampingku, 'kan?"

Tentu saja, Ibuku yang murah senyum dan tidak pernah mencibirku dengan pertanyaan paling bodoh sekali pun menyahutiku dengan suara yang penuh kasih, memberiku seluruh kehangatan yang tersalur dari kata-katanya sampai ke hati. "Tentu saja, Sayang."

Oh, aku percaya Ibu.

Aku sayang Ibu.

.

Aku heran kenapa ada orang yang sangat menyebalkan seperti Ibu.

Dia selalu mengekoriku ke mana-mana, seperti aku masih bocah saja. Di lain waktu ketika aku sedang duduk bersantai di kamar, dia akan membuka kamar dan mengganggu waktuku, lalu dia bertanya dengan suara menyebalkan, "Nak, mau bantuin Ibu nggak?"

Dengan spontan kujawab, "Tidak."

Matanya langsung sedikit turun tapi senyumnya tidak hilang. Dia mengangguk dan pergi. Aku melanjutkan kegiatanku semula, yaitu duduk-duduk santai di kasur sambil memikirkan apa yang akan kulakukan besok.

Hmm, apa, ya?

Ternyata pemikiran itu membuatku menutup mata dan merasakan kantuk yang menyerang. Saat bangun, aku melihat pemandangan wanita yang berkeringat dan wajahnya lelah tapi sedang memperhatikanku dalam-dalam. Astaga, apa yang diperhatikannya sampai harus melihatku dengan tatapan seperti itu? Aku risih, tahu.

"Apa lihat-lihat, Bu?"

"Nggak, Sayang," jawabnya pelan dan membuatku kesal. Lalu aku bertanya lagi.

"Apa yang Ibu lakukan sampai keringatan gitu?"

Harusnya aku tahu kalau dia sibuk bolak-balik hanya dengan berjalan kaki untuk berjualan kue. Namun karena tadi aku sibuk berleha-leha, pasti dia melakukannya sendirian karena Ayah sudah meninggal ketika aku masih kecil, dan aku anak tunggal, harusnya aku yang membantunya. Tapi ... aku capek habis mengerjakan tugas sekolah, ya ampun. 

Ibu hanya menggeleng pelan dan meninggalkanku di kamar.

Aku benci Ibu.

.

Terkadang, aku bertanya-tanya kenapa waktu bisa berlalu begitu cepat bahkan dalam sekejap mata.

Aku tahu kalau itu terdengar klise, tapi memang itu kenyataannya dan tidak bisa dibantah lagi. Dalam sekejap saja aku sudah menikah, punya suami dan punya anak. Omong-omong, ternyata mengurus anak itu tidak mudah. Aku kagum dengan Ibu.

Dan tentang Ibu ....

Aku pernah bertanya-tanya sampai kapan dia terus berada di sisiku. Aku teringat di masa lalu, aku meminta Ibu untuk terus bersamaku.

Dia sudah meninggalkanku ketika anakku sudah berumur tiga tahun.

Aku menangis keras-keras, sadar kalau tindakanku sangat tidak dewasa dan tindakanku sangat, sangat memalukan dan menjijikkan ketika aku masih remaja.

Aku cinta Ibu.

.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku