Kamis, 23 Juli 2015

Selalu Ada

“Kenapa kamu selalu ada untuk saya?” Kamu bertanya suatu hari, di bawah cahaya matahari yang menyelip lewat daun-daun pohon yang ada di sebelahmu. Sementara saya bergeming, menyentuh batang pohon yang kekar dengan jari-jari tangan saya. Saya tidak bisa menjawab, tentu saja, karena kamu berada di sana, mata cokelatmu menatap saya penuh-penuh.

Tentu saja, kamu kan tidak pernah mengerti. Saya menarik napas dalam-dalam.

“Alasannya sederhana, kamu tahu itu,” saya menjawab, berharap kamu mengerti maksud saya.

Keping cokelatmu tak mengedip. “… ya, saya tahu.”

Saya menganggukkan kepala. “Kalau begitu saya pergi dulu. Jika ada yang ingin kamu butuhkan, hubungi saya.”

Saat saya melangkahkan kaki, kamu mengucapkan sesuatu yang membuat saya berhenti.


Saya tak menjawab apa pun dan pergi.

Selasa, 30 Juni 2015

Suatu Saat

(30/06/2015)
Suatu Saat

.

Aku punya seorang penggemar.

Jangan anggap aku sebagai seorang gadis yang sok cantik atau apa. Tapi, itu memang kenyataan yang tak bisa didaga. Sering kali aku memergokinya berjalan di belakang di mana pun aku berada. Terkadang, dia muncul tiba-tiba, membuatku hampir meneriakinya. Namun yang kulakukan adalah menjauh dan pergi meninggalkannya.

Aku tak tahu sejak kapan dia membuntutiku. Semua cara-cara yang dilakukannya membuatku risau. Sesekali aku menoleh ke belakang, memastikan tak ada orang yang membawa-bawa pisau. Memang, dia tak pernah menunjukkan hal itu. Tapi aku benar-benar tak tahu apa yang membuatnya bersikap begitu.

Apa tujuannya? Setiap hari dia mengikutiku tapi ia tak sadar bahwa aku takut padanya.

Saat ini aku sedang berjalan ke rumah. Jaraknya dekat, sehingga aku tak perlu mengeluarkan biaya untuk ke sekolah. Hal itu tidak menguntungkan ketika dia mengikutiku seolah itu hal yang lumrah. Dengan keberanian yang kukumpulkan perlahan, aku berbalik, hanya untuk menemukan dirinya yang tersenyum ramah.

Refleks aku memekik. Senyumnya hilang dalam satu detik.


Sebelum dia sempat bertindak, aku mengayunkan kaki dan pergi. Tak mau berbalik lagi. Dan suatu saat, aku akan pindah dari sini.

.
(fin)
.

#NulisRandom2015

Selasa, 23 Juni 2015

Untitled

(23/06/2015)
Untitled

.

So, gue punya pengalaman jelek sama cowok (keyword: mantan) sekarang rasanya gue kalo mau memulai hubungan baru juga … canggung, awkward. Setiap cowok yang deketin I’m like, dingin, jutek, dan mereka perlahan-lahan mundur.

Tapi kalo sama temen cowok gue biasa aja. Tapi kalo udah menjurus ke arah hubungan … gue ga bisa.


Gue kenapa sih.

.
(fin)
.

#NulisRandom2015

Senin, 15 Juni 2015

Pergi

(15/06/2015)
Pergi

.

Jadi maksudmu begitu, ya. Setelah kita berpisah beberapa bulan (berapa bulan? Aku tidak bisa menghitung saking lamanya) kamu tidak pernah menghubungi; aku menunggu seperti orang tolol, sementara kamu bersenang-senang dengan orang (perempuan) lain.


Kamu pergi. Aku menunggu (lagi).

.
(fin)
.

#NulisRandom2015

Selasa, 09 Juni 2015

Atensi

(09/06/2015)
Atensi

.

Aku berdiri di balkon lantai dua, memperhatikan beberapa siswa yang sedang bermain basket. Dalam hati aku berpikir, kenapa mereka tidak pernah lelah padahal habis ini masih ada pelajaran dan mereka memakai seragam sekolah yang, err, panas.

Tadinya yang kuperhatikan adalah permainan bola basketnya. Tapi lama kelamaan mataku terpancang hanya pada satu orang. Dan mataku tidak mau beralih.


Mataku yang bandel menyebabkan masalah. Dia mendongak, matanya mengarah padaku, dan aku masih tidak bisa membuang muka. Hanya sepersekian detik dan dia mulai fokus lagi dengan permainan basketnya.

.
(fin)
.

#NulisRandom2015

Senin, 08 Juni 2015

Cakrawala

(08/06/2015)
Cakrawala

.

“Aku ingin pergi melihat petasan. Pokoknya petasan petasan petasan!”

Anak saya selalu rewel kalau itu berhubungan dengan kesukaannya—mercon, balon, bahkan hal remeh seperti gelembung sabun. Terkadang dia menunjuk-nunjuk sesuatu di atas, telunjuknya bergerak-gerak, dan barulah saya sadar bahwa yang ia maksud adalah awan. Dia juga bisa menghabiskan waktu lebih dari sepuluh menit hanya untuk memperhatikan burung-burung yang berkeliaran di depan rumah. Ada saat-saat di mana dia merengek minta dibelikan pesawat, padahal, ya ampun, saya bukan miliuner.

Walaupun begitu, saya menuruti permintaannya. Menyusuri jalanan yang ramai dan penuh dan sangatlah sesak untuk menunggu kembang api—dan petasan—menjelang Tahun Baru. Menahan diri untuk tidak mencaci siapa pun yang barusan menginjak kaki saya, menahan diri untuk tidak mengumpat ketika punggung saya tidak sengaja terjawil—pokoknya ramai sekali lah.

“30 DETIK LAGI!” Terdengar bahana yang membuat telinga saya berdengung. Saya mengerjapkan mata, masih berjalan perlahan seraya mendongak ke atas, menanti petasan yang ditunggu-tunggu semua orang.

Saya menggenggam tangan mungilnya erat-erat supaya tidak menjauh dari saya. Mendekati tiga puluh detik yang dimaksud, suara ribut semakin menjadi-jadi. Saya tidak mengalihkan pandangan dari langit. Langit. Kesukaan anak saya; mercon, balon, gelembung sabun, pesawat ….

Barulah saya sadari. Dia menyukai hal-hal yang berhubungan dengan langit. Saya berjongkok di hadapannya dan menatap wajahnya dengan sungguh-sungguh. Polos, inosen, murni. Dia menatap balik.

“Jadi,” kata saya dengan suara pelan kepadanya, namun percuma karena suara saya dikalahkan oleh keributan yang ada di sekitar, sehingga saya mengulangi hal tersebut sekali lagi dengan lebih kencang, “Jadi, kalau mama boleh tahu, kenapa kamu suka sama hal-hal yang berhubungan dengan langit?”

“3!”

“2!”

“1!”

Dia tidak menatap saya lagi, melainkan melihat langit dan tangannya tidak mau diam. Saya berdiri, ikut melihat ke atas, kagum dengan keindahan yang dihasilkan walaupun saya sangat membenci kebisingan.

Diam-diam, saya menunggu jawabannya. Dia pasti mendengar.

“MA,” sahutnya setelah beberapa menit dihabiskan untuk melongo melihat petasan, “AKU JUGA INGIN BISA TERBANG.”

Saya mematung di tempat.


“AKU INGIN MENGUNJUNGI PAPA.”

.
(fin)
.

#NulisRandom2015

Sabtu, 06 Juni 2015

Hujan

(06/06/2015)
Hujan

.

Kau duduk di sebelah jendela. Rintik-rintik hujan menempel di kaca, dan kau menunduk, rambut menutupi wajah.

Kau tak pernah suka hujan. Hujan berisik, membuat hatimu tidak tenang, dan selalu mengganggu aktivitas di luar.


Tapi kau tak bisa berbuat apa-apa, sehingga yang kau lakukan hanyalah duduk sembari menunggu hujan reda.

.
(fin)
.

#NulisRandom2015

Jumat, 05 Juni 2015

Foto

(05/06/2015)
Foto

.

Ketika aku sedang membuang kertas-kertas yang tidak perlu atau merapikannya kembali karena masih dibutuhkan, aku melihat setumpuk foto yang tergeletak begitu saja di dalam laci. Beberapa foto tersebut sudah usang, namun ada juga yang masih terlihat baru. Karena sedang bersih-bersih, sekalian saja kuputuskan untuk menyortir foto-foto itu. Ada foto-foto yang masih ingin kusimpan, ada juga foto-foto yang tidak diperlukan yang harus dienyahkan, seperti:

1)      Fotoku bersama keluargaku saat aku masih berusia tujuh tahun. Di sana aku terlihat seperti anak tengil yang tidak bisa diam, wajah dan tanganku berlumuran lumpur dan tanganku memilin rambut sehingga rambutku berlumpur juga. Sementara itu, wajah saudari kembarku bersih dari apa pun dan dia selalu terlihat lebih cantik dariku. Ibu dan ayah berdiri di antaranya sementara aku agak terbuang, berjarak sekitar tiga sentimeter kalau di foto.
2)     Potret selanjutnya adalah ketika aku sudah memasuki Sekolah Menengah Atas, dengan seragam putih bersih (ya, benar, akhirnya seragamku seputih itu) dan rambut disisir rapi yang sedang memegang piala, aku tersenyum, tapi di sebelahku ada dia yang memegang dua buah piala, dan dia agak kerepotan karena ada satu lagi piagam penghargaan yang harus dipegang di tangan kanannya.
3)     Fotograf selanjutnya ketika aku menghadiri acara pernikahannya. Dia terlihat seperti malaikat (tanpa halo dan sayap) karena begitu suci, putih, murni, dan inosen—tidak seperti aku yang sudah dicap brengsek oleh keluarga. Di foto itu aku mengenakan baju serba hitam seperti orang pergi melayat, dan yang kukenakan adalah kaus berlengan pendek dan celana jengki.
4)     Di foto ini, aku berada di pemakamannya dan ekspresiku paling berbeda di antara yang lain—orangtua menangis, suami dan anaknya terdiam tak bisa berkata-kata, sementara aku tersenyum bahagia di foto itu seraya menyentuh batu nisannya.


Aku menunda untuk membuang foto yang terakhir sebelum akhirnya foto itu aku masukkan lagi ke laci. Foto itu yang paling bagus di antara foto-foto lainnya saat aku bersama dengannya. Aku terlihat lebih bersinar dan lebih dianggap di foto tersebut.

.
(fin)
.

#NulisRandom2015

Kamis, 04 Juni 2015

Siklus

(04/06/2015)
Siklus

.

Gue mau curhat aja lah hari ini.

Jadi ceritanya hasil siklus baru dibagiin kan. Pas kerjain siklus itu, emang banyak yang nggak selesai dan banyak juga yang gak balance. Gue selesai dan balance, tapi salah di bagian jurnal penyesuaian (yesh gara-gara iklan dibayar di muka – beban iklan, screw you). Lima jam, deg-degan, laper, sampe kebelet segala (ini nggak penting sih sebenernya).

Terus hari ini dibagiin. Hasilnya bikin anak-anak pada kesel. Banget.

Temen gue siklus juga udah selesai, hasilnya balance, prosedural, rapi, garis merah segala macem dapet lima puluh. Padahal labanya sama kayak gue, sampai jurnal penutup juga udah beres. Lima puluh, coy. AKUNTANSI. Paling penting lagi kan.

Ada lagi temen gue. Gak selesai, gak balance, dapet sembilan puluh.

Gue gak tau lagi harus ngomong apaan … gue ikutan kesel sebenernya. Tapi ya mau gimana keputusan yang ngoreksi juga sih tapi kan gak gini-gini banget. Terus Pak S manggil gue, ngejelasin cara dia ngenilai dari bener-salahnya, prosedural, sama kerapian. Gue  iyain aja, ngeliat dia siapin kertas isinya:
Jurnal pengeluaran kas – 5 poin

Jurnal penerimaan kas – 5 poin

Jurnal pembelian – 5 poin

dst sampai NSSP, pas ditotalin 100. Detil penilaiannya sih gitu. Gue kasian sama temen gue. Salah paling juga sama kayak gue di jurnal penyesuaian bagian iklan (itu ngejebak banget sih iya) (jurnal penyesuaian nilainya paling gede sendiri sih 20 poin). Gue ngeliat punya dia coretannya juga cuma dikit, bagian bb modal doang. Tapi dapet lima puluh.

Ada juga yang cuma salah di jurnal penutup tapi lainnya udah beres dan balance dan prosedural dapet enam puluh delapan. Temen-temen gue yang gak selesai dapet tujuh puluh sama sembilan puluh. Yah beneran gagal paham sih gue, cara nilainya kayak gimana masih bingung.

Untungnya nilai gue lumayan dan walaupun gue nggak ngalamin, gue keseeeel banget sama hasil nilai temen-temen gue yang … parah banget, padahal mereka udah kerja keras sampe selesai dan balance.

Cuma mau numpahin kekesalan aja kali ini.


.
(fin)
.

#NulisRandom2015

Rabu, 03 Juni 2015

Dunia Saya

(03/06/2015)
Dunia Saya

.

Saya tidak punya cerita.

Saya tidak seperti orang-orang yang punya pengalaman menarik, seperti, “Kemarin saya baru pulang dari Singapura, lalu—“ atau, “Tugas kemarin melelahkan sekali, aku pulang malam karena harus—“ karena saya termasuk orang biasa yang tidak punya warita. Tak punya kisah untuk dibagikan.

Tapi saya punya imajinasi. Saya punya khayalan kelewat tinggi, kadang-kadang saya takut saya terbang terlalu jauh dan tidak bisa untuk kembali. Terkadang saya bermimpi, apa rasanya menjadi orang yang punya magi? Bagaimana rasanya menjadi petualang yang berkeliling ke luar negeri? Apa rasanya akan sangat berbeda dari orang yang biasa-biasa saja, yang hanya punya mimpi di dunia fantasi?

Walaupun demikian, saya sangat suka bermimpi. Mengambil alih dunia dan menjadi penguasa barang sehari. Merenungkannya dalam-dalam, berkreasi sambil memikirkan kalau ini benar-benar terjadi. Saya takut lupa dengan semua ini. Suatu hari, saya mengambil kertas dan bolpoin, mencatat kata demi kata, kalimat demi kalimat, yang lama kelamaan menjadi paragraf. Dan kemudian menjadi dua lembar halaman. Saya tidak bisa berhenti; saya lupa diri.

Kemudian inilah yang saya pikirkan: saya tidak punya cerita. Saya membuat cerita.

Saya mulai menulis lagi.

(Suatu hari, saya ingin dunia(-dunia) saya dikenal oleh banyak orang).


.
(fin)
.

#NulisRandom2015

Selasa, 02 Juni 2015

Kelak

(02/06/2015)
Kelak

.

Terakhir kali kau bermanja-manja dengannya adalah ketika langit sudah berubah menjadi lembayung. Kepalamu berada di pangkuannya, dia bersandar di batang pohon yang kuat, tangannya bermain-main dengan helaian pirangmu, dan yang dia lakukan adalah menatapmu seolah-olah kau adalah permata paling antik sedunia.

Kau menunggu. Dia juga menunggu.

Detik-detik menjelma menjadi menit sebelum akhirnya dia membuka mulut, “Besok aku akan pergi.”

Kau menahan diri untuk tidak menoleh padanya, karena saat kau melihat matanya, maka di saat itulah pertahanan dirimu terdobrak sampai tak bisa disatukan lagi. Kau hanya mengangguk.

Tidak boleh menangis, dasar gembeng, kau mengutuk dalam hati. Sudah usia dua puluh satu dan tingkahnya masih seperti remaja. Tidak bisa mengontrol emosi diri sendiri.

Dia berbicara lagi, “Kau tidak akan menangis, ‘kan?”

Lucunya, saat itu juga matamu panas dan sesuatu yang menetes perlahan, satu, dua, tidak bisa dikendalikan lagi. Kau panik, buru-buru menghapus air mata dan dengan sigap dua tangannya menahan tanganmu.

“Hei, hei.”

“Aduh, aku cengeng,” katamu sejujur-jujurnya dan suaramu bergetar. “Aku bukan perempuan yang kuat dan mandiri dan bisa melepaskan kepergianmu begitu saja, walaupun untuk sementara, karena kau bekerja. Pokoknya—“ kau menutup mulut karena kau bisa meledak kapan saja. Tangisan itu tidak mau berhenti.

“Jangan menangis. Oke? Oke?”

Kau tidak mau menangis dan ingin berhenti tapi hatimu lebih bodoh dari otakmu, tentu saja. Kepalamu dipenuhi oleh pikiran-pikiran, seperti, kau akan sendirian setiap hari sampai dia kembali lagi dan tidak akan ada yang menemanimu setelah kuliah untuk melepas penat. Kau tidak akan melihat permainan gitarnya lagi dan kau tidak bisa melihat senyumnya atau matanya atau semua tentang dirinya. Kau adalah wanita manja dan sensitif luar biasa sehingga kepergiannya selama dua bulan akan mempengaruhimu sampai sejauh itu.

“Kita bisa tele—“

Kau menghentikan ceracauannya dengan gerakan tangan. “Tolong, tolong, jangan bicara apa-apa dulu.”

Dia langsung diam. Kau memejamkan mata. Butuh beberapa menit sampai dirimu bisa tenang. Tarik napas. Satu. Dua. Oke. Kau sudah dewasa, bukan anak kecil yang butuh diantar ke sana kemari dan butuh seseorang untuk menemanimu setiap hari.

Kau tidak sadar bahwa dia tersenyum melihat dirimu yang mulai tenang, dan sesekali dia memainkan rambutmu (lagi), lalu mulai menatap langit, sambil bertanya-tanya apakah dua bulan itu waktu yang cepat atau lama.

Pohon yang menjadi tempatnya bersandar melarasi daun-daunnya, mengenai kepalamu, dan kau tidak perlu repot-repot untuk menyingkirkan daun itu karena dia sudah menyisihkannya.

Kau membuka mata, dan wajahnya sudah mendekat untuk mengecup dahimu. Sentuhan sederhana yang mungkin akan terus berada di kepalamu sampai dia kembali lagi.


.
(fin)
.

#NulisRandom2015

Senin, 01 Juni 2015

Masih Ada Hari Esok

(01/06/2015)
Masih Ada Hari Esok
.
Orang-orang sering bilang rutinitas itu membosankan. Bagiku, rutinitas adalah suatu kewajiban.
Bangun di pagi hari. Mengucap syukur karena masih diberi kesempatan untuk bernapas pagi ini. Sebelum pergi ke kamar mandi, aku membereskan tempat tidur hingga rapi. Mengambil odol dan sikat gigi, bercermin dan tersenyum untuk menyemangati diri. Menyalakan shower dan menikmati air yang membersihkan tubuh dari kepala sampai kaki.
Tetesan-tetesan air menitik dari rambut. Sebelum sempat mengeringkannya, kusempatkan diri untuk menuju jendela kamar dan mengintip lewat kabut. Dia ada di sana, berada di tempat tidur dan masih berselimut. Aku menunggu sambil memperhatikan wajahnya yang merengut. Dia menguap dan sesekali membenahi rambutnya yang kusut.
Dia bangun dan pergi ke kamar mandi. Aku masih menunggu di ambang jendela sampai dia keluar lagi. Wajahnya bersinar dan rambutnya tergerai rapi. Aku berlari menuju pintu kamar, membukanya dengan tarikan keras, dan menuruni tangga dengan semangat berapi-api.
Tepat ketika aku sudah berada di luar, dia juga sedang bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Tatapannya beralih padaku dan air mukanya berubah. Padahal aku bersikap biasa saja dan tidak bersalah. Cepat-cepat dia berlari, sementara dia belum melihat aku yang tersenyum ramah.
Aku mengikutinya dengan berjalan agak cepat. Dia menyadari itu sampai-sampai dia berjalan sambil melompat. Aku agak berlari, berusaha menyusulnya, agar tidak terlambat.
Ketika sampai di gerbang sekolah, dia menoleh padaku lagi, tapi wajahnya sudah agak lega. Aku bingung apa yang dipikirkannya sampai dia berbisik pada petugas keamanan sekolah yang sedang berjaga. Aku mundur perlahan, tersenyum pada sekuriti, dan menarik diri sejauh yang kubisa. Tidak apa-apa, sudah biasa.
Lima jam kemudian, dia pulang dan wajahnya terlihat senang. Aku maju sedikit dengan tenang. Langkah-langkahku menyebabkan dia berbalik ke arahku dan dia terlihat berang. Aku tersenyum, menyapanya dengan lantang. Dia berlari secepat mungkin sampai menghilang dari jarak pandang.
Aku berjalan dengan pelan menuju rumah. Tidak apa, sudah biasa, ini hal yang lumrah. Masih ada hari besok dan aku tidak akan menyerah.
Lagi pula, ini rutinitas.
.
(fin)
.
#NulisRandom2015

Rabu, 11 Maret 2015

Macam Itu

Macam Itu
(Ain't Worth The Whiskey)


.

Aku tidak mengerti kenapa orang-orang selalu datang ke tempatku--yah, tidak selalu, tapi sekitar 89%--dengan wajah muram seperti habis ditinggalkan belahan jiwa.

Memang benar, sih. Mereka akan memesan minuman keras dan aku, sebagai bartender yang baik, akan menuruti perintah mereka, asal ada uangnya. Lalu, menambah kebaikanku juga, aku akan dengan sabar mendengarkan curhatan-curhatan mereka tentang apa yang membuat mereka depresi hari ini.

"Aku habis dipecat."

"Istriku selingkuh."

"Gila, anak perempuanku hamil. Bahkan belum lulus SMA."

"Aku butuh sesuatu untuk menjadi pengalih."

Dan sebagainya dan sebagainya dan sebagainya. Kadang aku bosan, tapi berusaha untuk tidak menunjukkan itu di depan mereka. Yah, aku kan bartender yang baik.

Omong-omong, pria yang berada di hadapanku saat ini wajahnya mirip zombie. Lihat saja kerutan-kerutan serta kantung hitam itu, rasanya pengen kupakaikan bedak saja. Eh, tidak ampuh, ya.

"Whiskey," katanya serak sambil menatapku dengan aneh, layaknya seekor kecoa. Aku mendengus dan segera pergi meninggalkannya untuk memberi whiskey itu.

Saat aku kembali, dia sudah mencerocos, seperti biasa--seperti pelangganku yang lainnya. "Masa dia meninggalkanku demi pria brengsek seperti dia."

Ah, kisah percintaan.

Aku memasang wajah yang penuh perhatian. "Pria brengsek macam apa?"

"Macam itu!" geramnya sambil mengepalkan tangan. "Aku sudah belikan mobil, rumah, dia malah pilih yang macam itu. Hanya gara-gara wajahnya lebih tampan dariku--"

Aku nyengir. Kelihatan, sih, kalau dia cinta mati sama mantannya itu. Wajahnya sangat frustrasi, lebih-lebih ditambah dengan ekspresinya yang masam dan merengut itu.

Dia tidak memperhatikanku lagi dan meneguk whiskeynya cepat.

"Jangan dipertahankan yang matrealistis seperti itu, bro," ujarku sok akrab seperti biasa. "Because, she ain't worth the whiskey."

Dia ikutan nyengir.

.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Aku yang Tidak Tahu Apa-Apa

Aku yang Tidak Tahu Apa-Apa

(Ibu)

.

Ketika masih bocah, aku pernah bertanya pada Ibu. "Ibu, Ibu tidak pernah meninggalkan aku, 'kan? Aku selalu bosan kalau di rumah ..." Aku bertanya hal itu karena aku anak tunggal dan tidak punya saudara kandung, "Jadi Ibu terus ada di sampingku, 'kan?"

Tentu saja, Ibuku yang murah senyum dan tidak pernah mencibirku dengan pertanyaan paling bodoh sekali pun menyahutiku dengan suara yang penuh kasih, memberiku seluruh kehangatan yang tersalur dari kata-katanya sampai ke hati. "Tentu saja, Sayang."

Oh, aku percaya Ibu.

Aku sayang Ibu.

.

Aku heran kenapa ada orang yang sangat menyebalkan seperti Ibu.

Dia selalu mengekoriku ke mana-mana, seperti aku masih bocah saja. Di lain waktu ketika aku sedang duduk bersantai di kamar, dia akan membuka kamar dan mengganggu waktuku, lalu dia bertanya dengan suara menyebalkan, "Nak, mau bantuin Ibu nggak?"

Dengan spontan kujawab, "Tidak."

Matanya langsung sedikit turun tapi senyumnya tidak hilang. Dia mengangguk dan pergi. Aku melanjutkan kegiatanku semula, yaitu duduk-duduk santai di kasur sambil memikirkan apa yang akan kulakukan besok.

Hmm, apa, ya?

Ternyata pemikiran itu membuatku menutup mata dan merasakan kantuk yang menyerang. Saat bangun, aku melihat pemandangan wanita yang berkeringat dan wajahnya lelah tapi sedang memperhatikanku dalam-dalam. Astaga, apa yang diperhatikannya sampai harus melihatku dengan tatapan seperti itu? Aku risih, tahu.

"Apa lihat-lihat, Bu?"

"Nggak, Sayang," jawabnya pelan dan membuatku kesal. Lalu aku bertanya lagi.

"Apa yang Ibu lakukan sampai keringatan gitu?"

Harusnya aku tahu kalau dia sibuk bolak-balik hanya dengan berjalan kaki untuk berjualan kue. Namun karena tadi aku sibuk berleha-leha, pasti dia melakukannya sendirian karena Ayah sudah meninggal ketika aku masih kecil, dan aku anak tunggal, harusnya aku yang membantunya. Tapi ... aku capek habis mengerjakan tugas sekolah, ya ampun. 

Ibu hanya menggeleng pelan dan meninggalkanku di kamar.

Aku benci Ibu.

.

Terkadang, aku bertanya-tanya kenapa waktu bisa berlalu begitu cepat bahkan dalam sekejap mata.

Aku tahu kalau itu terdengar klise, tapi memang itu kenyataannya dan tidak bisa dibantah lagi. Dalam sekejap saja aku sudah menikah, punya suami dan punya anak. Omong-omong, ternyata mengurus anak itu tidak mudah. Aku kagum dengan Ibu.

Dan tentang Ibu ....

Aku pernah bertanya-tanya sampai kapan dia terus berada di sisiku. Aku teringat di masa lalu, aku meminta Ibu untuk terus bersamaku.

Dia sudah meninggalkanku ketika anakku sudah berumur tiga tahun.

Aku menangis keras-keras, sadar kalau tindakanku sangat tidak dewasa dan tindakanku sangat, sangat memalukan dan menjijikkan ketika aku masih remaja.

Aku cinta Ibu.

.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Rabu, 18 Februari 2015

Lebih dari Cukup

Lebih dari Cukup

(1000 Tahun Lamanya)

.


"Maaf sudah menunggu lama," kata Fina ketika dia menarik kursi dan duduk di hadapan Rio. Rio tersenyum dengan totalitas yang sempurna. 

"Tidak apa-apa," ujar Rio, menekan keinginan untuk meledak karena dia sudah menunggu sekitar tiga jam, "Tidak apa-apa. Baru sebentar."

Lalu mereka berdua makan siang seperti yang sudah direncanakan sebelumnya.

.

"Maaf sudah menunggu lama," ujar Fina ketika dia keluar dari kantornya dengan wajah yang muram. Di sana Rio berdiri, gemetaran karena angin dan hujan dan cuaca yang tidak mendukung menampar tubuhnya hingga hampir roboh. Fina menatap Rio, lalu mengembangkan payung yang ada di tangan kanannya. 

"Aku lupa kalau kemarin kamu bilang ingin menjemputku," tukas Fina dan mereka mulai berjalan ke tempat parkir.

"Tidak apa-apa," sahut Rio dengan suara sedikit gemetar. Tubuhnya basah semua dan dia yakin besok dia akan bangun dengan lemas. "Hanya sebentar aku menunggumu."

Fina tersenyum lebar.
.

"Maaf sudah menunggu lama."

Kali itu diucapkan dengan seorang pria yang menggandeng lengan Fina; begitu lengket sehingga Rio kira mereka tak akan berpisah ketika hujan datang. Rio mendengus benci. Entah benci pada dirinya sendiri atau laki-laki antah-berantah tersebut. Tapi kebencian itu bukan untuk Fina.

"Oh iya. Rio, ini Rama. Rama, ini Rio. Rama mau menemaniku di reunian nanti, tapi Rio bersikeras untuk menjemputku," jelas Fina pada dua orang pria yang sedang menatapnya dalam. Fina melanjutkan, "Sori, Rio. Aku bawa Rama nggak apa-apa, 'kan?"

"Nggak masalah," jawab Rio dengan kasual dan dengan entengnya masuk ke mobil yang diparkir dari satu setengah jam yang lalu. "Ayo, masuk."

.

"Maaf sudah menunggu lama," kata Fina dengan mata sembap dan bengkak, hidung merah, bibir pucat. Rio menatapnya prihatin; kesal dan gemas, dia ingin menghibur Fina. Fina tersenyum lemah.

"Putus sama Rama, Fin?"

Fina mengangguk. Rio menepuk pundaknya.

"Maaf ya."

"Tidak apa-apa," jawab Rio untuk ke sekian kalinya. "Nggak lama, kok."

Jam tangan digital milik Rio menunjukkan angka 04:00 ketika dia tiba di depan rumah Fina untuk mengajaknya ke toko buku, dan sekarang sudah berada di angka 05.45.

Rio tahu Fina membutuhkan waktu karena dia menangisi Rama sepanjang hari.

Tapi, Rio tetap rela menunggu.

.

"Maaf sudah menunggu lama," Fina berujar dengan ceria dengan gaun cerah yang membungkus tubuhnya. Rio tersenyum senang. Mereka berdua akan pergi ke pernikahan teman semasa sekolah mereka hari ini.

"Baru tiga puluh menit," gurau Rio, dan mereka bergandengan menuju mobil Rio.

.

"Maaf sudah menunggu lama."

Mereka berdua duduk santai di teras rumah Fina yang hanya ada Fina sebagai penghuni rumah. Di antara barisan gigi ompong dan helaian rambut putih, wajah Fina yang penuh kerutan tersenyum samar. Rio hanya tersenyum lebar.

Rio tidak perlu menunggu lagi. 

Fina mengulurkan kedua tangannya ke arah Rio, mengenggam tangan tersebut, dan berbisik nyaris tak terdengar, "Terima kasih sudah menungguku selama bertahun-tahun. Maaf sudah menunggu lama. Aku akan menjadi pendampingmu, Rio, walaupun kamu tidak pernah mengatakan apa pun padaku. Kamu bersedia menungguku untuk sekian lama," Fina menghela napas, "Dan itu lebih dari cukup."

.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com #TiketBaliGratis.


Pintu yang Tertutup

Pintu yang Tertutup

(I'm Not The Only One)

.

Pernah sekali atau dua kali, aku dengan tololnya memandang punggungmu yang berbalik dan menjauh pergi, melangkah menuju pintu, lalu membantingnya dengan superior.

Tapi yang lebih tololnya lagi adalah, ketika aku tahu kalau aku tidak bisa bergerak pergi dari sana dan terus menunggumu dari bayangan yang tersisa.

.

"Kita telah membuat komitmen," katamu dengan nada angkuh yang tak sekali pun aku membantahnya, karena aku tahu bahwa aku tak bisa. Rambut panjangmu sedikit tersibak dan aku takut kalau aku telah salah fokus. Kamu menatapku dalam, dalam sekali. Aku melihat langsung ke matamu dan melihat sinar yang berkilat di sana. Kamu melanjutkan dengan mantap, "Namun ada satu hal yang ingin kuberi tahukan padamu."

Aku bergeming menunggu kelanjutan darimu.

"Jangan pernah menguntitku. Tak ada orang yang menjalin hubungan dan menguntit kekasihnya."

Dalam poin itu, aku setuju. Kamu adalah wanita independen, 'kan?

.

Kamu dan aku telah bersama untuk beberapa lama yang tak ingin kuhitung; mungkin lebih lama dari bayanganku, atau lebih singkat dari imajinasiku. Kita telah menekan ego masing-masing ke lubuk hati terdalam supaya hubungan ini tidak hancur, lebur, menjadi serpihan-serpihan tak bermakna di langit terujung sana.

Aku berpikir, mungkin karena kita saling mengerti.

Namun aku salah total.

.

Kamu adalah wanita cantik yang tidak mau kuperingatkan bahwa banyak laki-laki yang mengincarmu. Mungkin kamu sudah tahu, tapi aku juga tidak mau memperingatkan. Cukup waspada saja supaya milikku tak diambil orang lain.

Namun, suatu hari, aku melihatnya dalam titik antara taman, simfoni, air yang beriak, dan kamu yang sedang tersenyum hangat, direngkuh oleh pemuda yang tak kukenal.

Kamu terlihat bahagia tanpa perlu kuperingatkan.

.

Lain waktu, aku memergokimu bersama pria yang lain lagi dari dua bulan yang lalu (ya, ya, aku masih ingat, Sayang, ketika hari itu kamu berkata kamu ingin pergi bekerja tetapi kamu malah bermesraan dengan pria lain). Aku tidak memanggilmu. Aku melangkah pergi. 

Di waktu-waktu tertentu ketika aku ingin mempercayaimu, ingin tahu seberapa besar ketulusanmu dan bagaimana kamu memperlakukanmu, kamu hanya menjawab dengan santai, "Aku habis bekerja." 

Atau, "Habis hang-out sama teman."

Aku mengangguk. Mungkin kamu kira aku lebih tolol dari udang yang tak punya otak.

.

Kita tak pernah bertengkar karena aku mengalah dan kamu langsung pergi.

Menemui priamu yang lain.

.

Satu tahun. Dua tahun. Mungkin lima tahun.

Hubungan satu arah itu terus berjalan.

Dan aku masih menunggu di balik pintu yang terbalik, di antara sinar matahari yang menyusup di celah jendela dan tirai, dengan kaki yang tak gentar. 

Menunggumu untuk membuka pintu yang sudah tertutup sejak punggungmu sudah berbalik melawanku.

.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com #TiketBaliGratis.

Rabu, 11 Februari 2015

Lepau di Masa Lampau

Lepau di Masa Lampau


(Thinking Out Loud)


.

Pernah berpikir kalau jatuh cinta itu bisa dalam berbagai cara? Bertemu di warung, misalnya?

Rian bertemu Karina saat Rian ingin membeli lima bungkus kopi dan saat Karina ingin membeli dua bungkus mie instan. Mereka bertemu dan jatuh cinta di cara yang aneh, unik, dan menyenangkan.

.

Mereka berdua bertemu lagi kedua kalinya, kali ini dengan cara yang sama namun berbeda; Karina membeli kopi dan Rian ingin menikmati mie instan.

(Mungkin, itu disengaja.)

.

Tidak perlu yang indah untuk sesuatu yang sudah menakjubkan. Mereka berdua sering bertatapan penuh arti dan berbagi kopi serta mie instan di malam hari, dengan bintang-bintang menemani serta suara binatang malam yang bergema di langit.

Itu mereka lakukan secara konstan sampai usia ... eh, mereka sudah berapa tahun melakukan itu bersama?

.

"Rian, waktu itu kamu sengaja beli mie instan, kan, ya ...? Aku ingat percakapan kita entah berapa tahun yang lalu, kalau kamu tidak suka makan mie instan yang berkuah. Aku ingat sekali kalau kamu beli yang mie kuah rasa soto waktu itu."

Rian terkekeh dengan gigi yang sudah rontok banyak, "Sok tahu, kamu."

"Lucu, ya, bagaimana kita bertemu di saat orang-orang mendambakan sesuatu yang romantis: tabrakan di koridor, misalnya. Kita berbeda."

"Tentu, dong."

Dentingan sendok di cangkir kopi membuyarkan Karina dari lamunannya sendiri tentang warung ini tiga puluh tahun lalu. Mereka berdua kini berada di warung yang sama, menikmati waktu di malam hari. Iya, di warung. Warung yang mereka miliki setelah pemiliknya sudah tidak ada bertahun-tahun yang lalu.

Suara orang menyantap mie instan dengan nikmat terdengar di sebelahnya. Suara jangkrik bersahut-sahutan di kejauhan sana. Bintang tak bersuara, namun menikmati kenyamanan mereka berdua.

"Mau kopinya, Karina?"

"Aku lebih suka mie instan, terima kasih," ujar Karina sambil meraba rambut putihnya. Dengan sedikit membungkuk, dia mengintip mie instan berkuah milik Rian. "Jangan makan banyak-banyak mie instan, tahu," lalu dia menambahkan, "Kalau kopi, itu boleh."

"Ini mengingatkanku akan kita."

Karina, tanpa sadar, mendengus kencang. "Aku tahu itu romantis sekali."

Di antara selipan tangan-tangan keriput, Rian meremas genggamannya pada Karina. "Hei, aku merasa waktu membeku ketika kita bersama, karena aku selalu jatuh cinta padamu setiap harinya."

.

Karina menyeruput mie instan milik Rian ketika kepala Rian terkulai di kedua pahanya.

(Mungkin kalau sekali-sekali, tidak apa untuk makan banyak-banyak mie instan.)

.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com

Dunia yang Asing

Dunia yang Asing

(What They Called Soulmate)

.

Di antara sejuta ilalang, aku menemukan belahan jiwaku; atau yang biasa mereka katakan, soulmate.

Apa yang bisa kukatakan untuknya? Dia adalah satu-satunya yang mengerti diriku di saat yang lain mencemoohku. Dia adalah satu-satunya yang memahami aku ketika aku melakukan sesuatu yang tak dimengerti oleh orang lain.

Hei, lagi pula ... kenapa dia harus berbeda? Kami saling mengerti satu sama lain, kok.

Kami saling percaya, saling memahami dan mencintai, lalu untuk apa memedulikan kata orang lain?

"Kamu mengerti, 'kan?" kataku letih dan memberikan senyum yang terkulum. Aku melihat ke arah matanya yang sudah tertutup rapat dan aku memeluknya. "Aku masih terus mencintaimu, tahu."

Dia tidak balas memelukku, tapi aku juga tahu perasaannya.

Tentu saja dia sudah tidak bisa memelukku. Dia sudah pergi ke sana, jiwanya melayang di udara, meninggalkan aku di dunia.

Belahan jiwaku yang bisa diajak berlanglang buana di fantasi paling fana; laki-laki yang katanya terus memberiku perhatian di celah waktu sibuknya. Waktu sibuknya di antara memilah-milah kertas dan mengetik di komputer. Waktu sibuknya di antara keluarga dan aku.

Ini adalah untuk dia yang sudah memberikan seluruh hidupnya untukku sampai dia mati. Kamu adalah belahan jiwaku walaupun kamu sudah pergi.

Selamat tinggal, Sayang.

.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com