Selasa, 02 Juni 2015

Kelak

(02/06/2015)
Kelak

.

Terakhir kali kau bermanja-manja dengannya adalah ketika langit sudah berubah menjadi lembayung. Kepalamu berada di pangkuannya, dia bersandar di batang pohon yang kuat, tangannya bermain-main dengan helaian pirangmu, dan yang dia lakukan adalah menatapmu seolah-olah kau adalah permata paling antik sedunia.

Kau menunggu. Dia juga menunggu.

Detik-detik menjelma menjadi menit sebelum akhirnya dia membuka mulut, “Besok aku akan pergi.”

Kau menahan diri untuk tidak menoleh padanya, karena saat kau melihat matanya, maka di saat itulah pertahanan dirimu terdobrak sampai tak bisa disatukan lagi. Kau hanya mengangguk.

Tidak boleh menangis, dasar gembeng, kau mengutuk dalam hati. Sudah usia dua puluh satu dan tingkahnya masih seperti remaja. Tidak bisa mengontrol emosi diri sendiri.

Dia berbicara lagi, “Kau tidak akan menangis, ‘kan?”

Lucunya, saat itu juga matamu panas dan sesuatu yang menetes perlahan, satu, dua, tidak bisa dikendalikan lagi. Kau panik, buru-buru menghapus air mata dan dengan sigap dua tangannya menahan tanganmu.

“Hei, hei.”

“Aduh, aku cengeng,” katamu sejujur-jujurnya dan suaramu bergetar. “Aku bukan perempuan yang kuat dan mandiri dan bisa melepaskan kepergianmu begitu saja, walaupun untuk sementara, karena kau bekerja. Pokoknya—“ kau menutup mulut karena kau bisa meledak kapan saja. Tangisan itu tidak mau berhenti.

“Jangan menangis. Oke? Oke?”

Kau tidak mau menangis dan ingin berhenti tapi hatimu lebih bodoh dari otakmu, tentu saja. Kepalamu dipenuhi oleh pikiran-pikiran, seperti, kau akan sendirian setiap hari sampai dia kembali lagi dan tidak akan ada yang menemanimu setelah kuliah untuk melepas penat. Kau tidak akan melihat permainan gitarnya lagi dan kau tidak bisa melihat senyumnya atau matanya atau semua tentang dirinya. Kau adalah wanita manja dan sensitif luar biasa sehingga kepergiannya selama dua bulan akan mempengaruhimu sampai sejauh itu.

“Kita bisa tele—“

Kau menghentikan ceracauannya dengan gerakan tangan. “Tolong, tolong, jangan bicara apa-apa dulu.”

Dia langsung diam. Kau memejamkan mata. Butuh beberapa menit sampai dirimu bisa tenang. Tarik napas. Satu. Dua. Oke. Kau sudah dewasa, bukan anak kecil yang butuh diantar ke sana kemari dan butuh seseorang untuk menemanimu setiap hari.

Kau tidak sadar bahwa dia tersenyum melihat dirimu yang mulai tenang, dan sesekali dia memainkan rambutmu (lagi), lalu mulai menatap langit, sambil bertanya-tanya apakah dua bulan itu waktu yang cepat atau lama.

Pohon yang menjadi tempatnya bersandar melarasi daun-daunnya, mengenai kepalamu, dan kau tidak perlu repot-repot untuk menyingkirkan daun itu karena dia sudah menyisihkannya.

Kau membuka mata, dan wajahnya sudah mendekat untuk mengecup dahimu. Sentuhan sederhana yang mungkin akan terus berada di kepalamu sampai dia kembali lagi.


.
(fin)
.

#NulisRandom2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar